Penulis: Alfaenawan
JurnalPost.com – Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) menimbulkan kontroversi bahkan sebelum Perppu Cipta Kerja diterbitkan. Sempat menuai kontroversi, dimulai dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penciptaan Lapangan Kerja (UU Cipta Kerja) yang dinilai sebagai terobosan hukum baru yang dikeluarkan atas inisiatif pemerintah. DPR telah menyetujui pengesahan UU Cipta Kerja, sehingga UU Cipta Kerja resmi berlaku pada 2 November 2020. Isi undang-undang tersebut menggabungkan 76 undang-undang dan 1.200 pasal, terutama terkait ketenagakerjaan, dan undang-undang. sebagai perlindungan hukum bagi investor asing. memudahkan mereka berinvestasi di Indonesia.
Undang-undang ini mendapat tentangan dari masyarakat, mahasiswa dan berbagai pihak lainnya. Selain adanya pasal-pasal yang dapat merugikan hak pekerja, penyusunan dan pembahasan undang-undang penciptaan lapangan kerja juga tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara berarti. Tentu saja hal ini bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan hukum sebagaimana tertuang dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Hukum (UU P3). Hal ini menyebabkan UU Cipta Kerja harus diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Setahun kemudian, tepatnya pada 25 November 2011, Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
bersyarat. UU Cipta Kerja dinilai melanggar UUD NRI 1945 karena tidak jelas cara agregat yang digunakan. Apakah soal membuat undang-undang baru atau melakukan revisi? dalam pembentukannya tidak menganut prinsip keterbukaan, partisipasi bermakna, dan pembentukan. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi juga memerintahkan pembentuk undang-undang untuk melakukan penyesuaian dalam jangka waktu 2 (dua) tahun.
Apakah pemerintah memperbaiki UU Cipta Kerja?
Di penghujung tahun 2021, tepatnya pada tanggal 30 Desember 2021, masyarakat Indonesia mendadak dihebohkan dengan terbitnya Perpp Cipta Kerja. Perppu ini otomatis mencabut UU Cipta Kerja. Bahkan, Mahkamah Konstitusi memerintahkan pembentuk undang-undang untuk memperbaiki UU Cipta Kerja sejak awal. Namun alih-alih memperbaikinya dengan memaksimalkan ruang partisipasi yang berarti, pemerintah malah menerbitkan Perppa.
Dalam sistem pemerintahan Indonesia, presiden tidak hanya mempunyai kekuasaan eksekutif, namun juga mempunyai hak subjektif dalam membuat peraturan perundang-undangan, seperti hak untuk menetapkan Perppa. Namun perlu diingat bahwa penerbitan Perppu harus didasarkan pada urgensi yang diperlukan sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Sementara Perppu Cipta Kerja diterbitkan seolah-olah mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU -XVIII/2020, karena perintah Mahkamah Konstitusi kepada pembentuk undang-undang untuk menyempurnakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 melalui proses terbuka dengan partisipasi masyarakat (participationful participation) dan sesuai dengan asas peraturan perundang-undangan. Namun, pemerintah sebenarnya mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi dengan menerbitkan Perpp, yang tidak memerlukan proses yang disyaratkan oleh hukum adat.
Benarkah Perppu Job Creppu memenuhi syarat kebutuhan mendesak?
Ketentuan mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam menerbitkan Perppu tidak dijelaskan secara rinci baik dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maupun dalam undang-undang. Penjelasan lebih rinci dapat dilihat melalui penafsiran MK pada putusan nomor 138/PUU-VII/2009. Putusan tersebut mengklasifikasikan 3 unsur yang harus dipenuhi dalam menerbitkan Perpp, yang terdiri dari: 1) adanya keadaan, yaitu adanya kebutuhan mendesak untuk segera menyelesaikan permasalahan hukum berdasarkan undang-undang; 2) Undang-undang yang dipersyaratkan belum ada sehingga menimbulkan kekosongan hukum, atau undang-undang sudah ada tetapi belum mencukupi; 3) Kekosongan hukum ini tidak dapat diatasi hanya dengan membuat undang-undang
tindakan yang normal karena memerlukan waktu yang cukup lama agar situasi yang mendesak memerlukan kepastian untuk diselesaikan.
Ketidaksesuaian Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dengan konstitusionalitas pembentukan Perppu, yaitu: Perppu Cipta Kerja tidak memenuhi tiga unsur persyaratan urgensi yang diperlukan sebagaimana tercantum dalam UUD. Putusan Pengadilan Nomor 138/PUU-VII/2009. Hal ini terlihat misalnya Perppu Job Creppu diterbitkan bukan dalam keadaan yang mendesak untuk mengatasi permasalahan hukum yang mengharuskan dibentuknya peraturan pada tingkat undang-undang, Perppu Job Creppu tidak mengisi kekosongan hukum, karena Job Creppu UU Cipta Kerja masih berlaku hingga batas waktu 2 tahun sebagaimana tertuang dalam keputusan nomor 91/PUU-XVIII/2020, maka tidak diperlukan Perppu Cipta Kerja yang mendesak karena pemerintah masih dapat menjalankan proses legislasi secara normal. menyempurnakan undang-undang penciptaan lapangan kerja. Pemerintah punya waktu 2 tahun, jadi waktu yang cukup untuk membuat undang-undang dengan prosedur biasa, bukan Perpp.
Pemeriksaan terhadap dasar hukum pembuatan Perppu kerja
Tujuan penerbitan Perpp Cipta Lapangan Kerja adalah menanggapi perintah Mahkamah Konstitusi untuk menyempurnakan UU Cipta Kerja? Jika melihat pertimbangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Penciptaan Lapangan Kerja (Perppu Cipta Kerja) pada poin f disebutkan: “Dalam rangka melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/ PUU-XVIII/2020, perlu dilakukan perbaikan dengan melakukan penggantian undang-undang. Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020.”
Namun benarkah perbaikan UU Cipta Kerja bisa dilakukan melalui Perpp? Hal ini perlu dikaji terhadap putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil. Oleh karena itu, Undang-Undang Cipta Kerja tidak konstitusional (UUD 1945) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat kecuali jika dibaca “Tidak ada perbaikan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak keputusan tersebut diundangkan. Dengan kata lain, UU Cipta Kerja akan tetap berlaku sampai dengan tanggal revisi UU a quo yang telah ditetapkan. Jika sampai batas waktu yang ditentukan tidak ada perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional selamanya.
Penerbitan Perpp Cipta Kerja dinilai sebagai taktik untuk menghindari keputusan Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan pengujian UU Cipta Kerja dalam waktu 2 tahun. Jika dicermati, ternyata Perppu Cipta Kerja hampir sama dengan UU Cipta Kerja sehingga belum menunjukkan perbaikan yang maksimal. Kesenjangan yang terlihat berasal dari Perpp
menciptakan karya ini seolah-olah pemerintah sedang melarikan diri dari masalah yang perlu diselesaikan. Dalam keputusan konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2020 disertai dengan alasan bahwa pembuatan undang-undang penciptaan lapangan kerja tidak memenuhi kepastian hukum, karena tidak menggunakan metode baku yang terdapat dalam undang-undang nomor 12 tahun 2011. (UU P3). Atas perintah Mahkamah Konstitusi tersebut, pembentuk undang-undang kemudian menyikapinya dengan melakukan perubahan terhadap UU No. 12/2011 dan selanjutnya menjadi UU No. 13/2022 (UU P3) dengan melengkapi metode omnibus. Namun di saat yang sama, Mahkamah Konstitusi menyatakan pembuatan undang-undang penciptaan lapangan kerja tidak memenuhi aspirasi masyarakat (partisipasi bermakna).
Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah melakukan revisi terhadap undang-undang penciptaan lapangan kerja, misalnya dengan mengajukan undang-undang baru tentang penciptaan lapangan kerja kepada DPR dengan tetap mengoptimalkan aspirasi masyarakat luas dan memenuhi berbagai prinsip pembuatan undang-undang. Kalau peraturannya berbentuk Perpp, maka tidak ada partisipasi masyarakat seperti dalam pembuatan undang-undang biasa. Pembuatan Perppu justru menutup ruang partisipasi, karena Perppu merupakan hak subjektif presiden di saat krisis mendesak. Mahkamah Konstitusi bahkan menegaskan bahwa partisipasi masyarakat harus bermakna (meaningful activation) dengan aturan: hak masyarakat untuk mendengar pendapatnya, hak masyarakat untuk mempertimbangkan pendapatnya, dan hak masyarakat untuk mendapat penjelasan. atau jawaban atas pertanyaan pandangan tersebut.
Bibliografi
Asshiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara Darurat, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007. Farida Indrati Soeprapto, Maria Ilmu Hukum 1, Yogyakarta: PT Kanisius, 2007. Sihombing, Herman. Hukum Konstitusi Darurat di Indonesia. Jakarta: Djangkat, 1996.
Ya, Muhammad Syarif. “Sifat Darurat Sebagai Dasar Pembuatan Peraturan Pemerintah Daripada Undang-undang,” Jurnal Hukum, Vol. 18, tidak. 2 April 2011.
Ghunarsa Sujatnika, “Hadiah Akhir Tahun yang Tidak Diminta”, https://law.ui.ac.id/perppu-buat-kerja-kado-akhir-tahun-yang-tak-diinginkan-oleh-ghunarsa-sujatnika/ (diakses di 26 Februari 2023, 13.45).
Rangga Pandu Asmara Jingga, “Menko Polhukam Mahfud MD Tegaskan Tanggung Jawab Cipta Kerja Perppu Sebagai Sah”, https://riau.antaranews.com/berita/319407/menko-polhukam-mahfud-md-affirms-liability-perppu -buat -legal karya, (diakses 26 Februari 2023, 12:57).
Peraturan Perundang-undangan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UU No. 12 Tahun 2011 ya. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3)
Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 138/PUU-VII/2009. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Penulis:
Judul : Alfaenawan Program Studi : Hukum Tata Negara
Kampus : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Organisasi : JQH. Al-Mizan, Permahi, PMII dll.
Quoted From Many Source